Tuesday 12 April 2016

Akhlak Tasawuf, Pengertian dan Tanda Ma'rifat

Akhlak Tasawuf, Pengertian dan Tanda Ma'rifat


         Pengertian dan Tanda Ma’rifat
Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman.[1][1] Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.         Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
Ma’rifah adalah  ketepatan  hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”
b.        Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c.    Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:

اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).[2][2]

B.       Hakikat Ma’rifat
Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1.       Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya tertutup, dan waktu inilah yang dilihat hanya Allah.
2.       Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3.       Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah SWT.
4.       Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[3][3]


F.       Tokoh Ma’rifat
Dalam litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat, yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.[4][9]
Al-Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Pada 499 H = 1105 M, Al-gazali pulang kembali ke Niesabur dengan hati yang penuh bangga sebagai seorang pahlawan yang gagah yang pulang dangan kemenangan dari suatu pertempuran terhadap kepulangannya ini, dikatakan oleh H.K. Sherwani: “Malik Shah was Succeeded by his youngest son, mahmud, was in turn succeeded by his eldest by brother barqijaruq, while another of Malik Shahs son, Sanjar, gevernor of Khorrasan, made Nizamul Mulk’s son Fakru’l Mulk his shief minister, and he, true to tradition of his illustrious melalui jalan yang aneh-aneh. Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi maut, ia minta teman-temannya meninggalkannya, dan ia menyilakan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadah, dan ada suara yang menjawab, “Sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya”.
Diantara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, diatas atap rumahnya. “Tuhanku,  bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”
Doa lain : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembahmu-Mu karena harap akan surga jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka janganlah Kau tutup Keindahan Abadi-Mu.[5][10]
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun 246H/865M.[6][11] Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut terpalingkan dari jalan yang benar.[7][12] Dalam sebuah hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya. Pada saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui cirri-cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah dari sang khaliq. Dalam berbagai pandang yang disampaikan, Dzunnun ternyata banyak membawa dampak dan inspirasi bagi ulama’ sesudahnya.[8][13]








ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
a.       Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b.    Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c.       Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan

Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.

Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku. 

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar. 

Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite). 
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.










0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home