Makalah Karakteristik Klien
KARAKTERISTIK
KLIEN
Makalah
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Pengantar
BK”
Dosen Pemandu:
Dra.
Ragwan Albar, M. Fil. I
Oleh:
Iva Umi Agustina (B53214018)
Nadia Nafisah F (B53214027)
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT yang
senantiasa memberikan limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya kepada
penulis sehingga makalah yang berjudulKarakteristik Klien dapat
terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda rosulullah
Muhammad SAW yang mana telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang
terang benderang tak lain hanyalah dinul islam, dan semoga kita kelak
mendapatkan syafaatnya fi yaumil qiyamah, amin.
Dengan diterbitkannya makalah ini penulis berharap agar para mahasiswa
khususnya pembaca dapat memahami secara mendalam tentang hal-halyang berkaitan
dengan mater yang dikaji dalam Karakteristik Klien, antara lain agar para
pembaca memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara menghadapi permasalahan
dengan tepat dan kepada siapa harus mencurahkan serta meminta bantuan
menyelesaikan dalam masalahnya.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar, penulis
mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Dan
semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca.
Surabaya,
14 September 2014
Penulis
Seluruh problem kehidupan manusia menuntut adanya penyelesaian.
Akan tetapi, tidak setiap problem dapat diselesaikan sendiri oleh individu,
sehingga ia kadangkala membutuhkan seorang ahli sesuai dengan jenis problemnya.
Pendekatan-pendekatan psikologis berupa bimbingan dan konseling merupakan
pendekatan alternatif dan menjadi perhatian para ahli pada umumnya.[1]
Manusia perlu mengenal dirinya sendiri dengan sebaik-baiknya.
Dengan mengenal dirinya sendiri, mereka dapat bertindak dengan tepat sesuai
dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Walaupun demikian, tidak semua manusia
mampu mengenal dirinya. Mereka memerlukan bantuan orang lain agar dapat
mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuanyang dimilikinya dan
bantuan tersebut dapat diberikan oleh bimbingan dan konseling.[2]
Adapun konseling merupakan proses yang meliputi segala kegiatan
tatap muka antara konselor dan klien dalam rangka mengatasi masalah klien
melalui hubungan yang mendalam dan berorientasi pada pemecahan masalah klien.[3]
Proses konseling yang melibatkan konselor dan klien secara tatap
muka di dalamnya terdapat komunikasi antara dua pihak yaitu konselor dan klien
selama proses konseling itu berlangsung. Keberhasilan konseling sangat
ditentukan oleh keefektifan komunikasi diantara konselor dan klien. Dalam hal
ini, konselor dituntut untuk mampu berkomunikasi secara efektif untuk menunjang
pelaksanaan proses konseling.[4]
1.
Apa pengertian
dari klien?
2.
Apa saja
macam-macam klien?
3.
Apa saja
karakteristik klien?
4.
Bagaimana
proses perubahan klien?
5.
Apa saja
kriteria manusia ideal yang harus dicapai oleh klien?
1.
Mendeskripsikan
pengertian klien.
2.
Menyebutkan macam-macam
klien.
3.
Mengetahui karakteristik
klien.
4.
Mengetahui
proses perubahan klien.
5.
Menyebutkan
kriteria manusia ideal yang harus dicapai klien.
Klien adalah individu yang diberi bantuan professional oleh seorang
konselor atas permintaan dia sendiri atau orang lain. Klien yang datang atas kemauannya
sendiri karena dia membutuhkan bantuan, dia sadar bahwa dalam dirinya ada
masalah yang memerlukan bantuan seorang ahli. Klien yang datang atas permintaan
orang lain seperti orang tua dan guru, berarti dia tidak sadar akan masalah
yang dialami dirinya sendiri karena kurangnya kesadaran diri. Apabila klien
sudah sadar akan diri dan masalahnya, maka dia mempunyai harapan terhadap
konselor dan proses konseling, yaitu supaya dia tumbuh, berkembang, produktif,
kreatif, dan mandiri, sehingga dapat menentukan keberhasilan proses konseling.[5]
Berikut ini akan diuraikan berbagai macam klien yang diungkapkan
oleh Willis (2009).[6]
Klien
sukarela adalah klien yang datang pada konselor atas kesadaran sendiri karena
memiliki maksud dan tujuan tertentu. Hal ini dapat berupa keinginan memperoleh
informasi, mencari penjelasan tentang masalahny, tentang karier dan lanjutan
studi dan sebagainya.
Adapun
ciri-ciri klien sukarela adalah:
a.
Datang atas
kemauan sendiri.
b.
Dapat beradaptasi
dengan konselor.
c.
Mudah terbuka,
seperti dalam membicarakan persoalannya.
d.
Bersungguh-sungguh
dalam mengikuti proses konseling.
e.
Berusaha
mengemukakan sesuatu dengan jelas.
f.
Sikap
bersahabat, mengharapkan bantuan.
g.
Bersedia
mengungkapkan rahasia walaupun menyakitkan.
Meskipun klien sukarela datang atas kesadarannya sendiri, tetapi
konselor juga harus tetap mempelajari sikap, emosi, dan harapannya terhadap
proses konseling. Hal ini sangat berpengaruh pada diri klien yang mengharapkan
bahwa konseling dapat memenuhi harapan dan kebutuhannya.
Apabila
klien sukarela datang pada konselor atas kemauannya sendiri, maka klien
terpaksa adalah klien yang datang pada konselor atas dorongan teman atau
keluarga.
Adapun
ciri-ciri klien terpaksa adalah:
a.
Klien bersifat
tertutup.
b.
Enggan
berbicara.
c.
Curiga terhadap
konselor.
d.
Kurang
bersahabat.
e.
Menolak secara
halus bantuan konselor.
Dalam menghadapi klien seperti ini, konselor harus dapat meyakinkan
klien bahwa konseling bukanlah wadah yang diperuntukkan untuk orang-orang yang
mengalami gangguan dalam kepribadiannya semata. Hal ini akan menciptakan
perasaan aman pada diri klien sehingga dengan sendirinya klien akan membuka
dirinya pada konselor.
Berbeda
lagi dengan klien enggan. Klien enggan adalah klien yang datang pada konselor
bukan untuk dibantu menyelesaikan masalahnya, melainkan karena senang
berbincang-bincang dengan konselor. Ada juga beberapa klien enggan yang hanya
diam karena tidak suka dibantu masalahnya.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk menghadapi klien enggan adalah:
a.
Menyadarkan
kekeliruannya.
b.
Memberi
kesempatan agar klien dibimbing oleh konselor atau lawan bicara yang lain.
Klien
bermusuhan/menentang merupakan kelanjutan dari klien terpaksa yang bermasalah
dengan cukup serius. Ciri-ciri dari klien bermusuhan/menentang adalah:
tertutup, menentang, bermusuhan, dan menolak secara terbuka.
Cara-cara
efektif menghadapi klien ini adalah:
a.
Ramah,
bersahabat, dan empati.
b.
Toleransi
terhadap perilaku klien yang tampak.
c.
Meningkatkan
kesabaran, menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuai bahasa tubuh klien.
d.
Memahami
keinginan klien yang tidak mau dibimbing.
e.
Mengajak
negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan tentang konseling.
Klien
krisis merupakan klien yang mendapat musibah seperti kematian orang-orang
terdekat, kebakaran rumah, dan pemerkosaan. Tugas konselor disini adalah
memberikan bantuan yang dapat membuat klien menjadi stabil dan mampu
menyesuaikan diri dengan situasi yang baru.
Ciri-ciri
dari klien krisis adalah:
a.
Tertutup atau
menutup diri dari dunia luar.
b.
Sangat
emosional.
c.
Tidak berdaya.
d.
Ada yang
mengalami histeria.
e.
Kurang mampu
berpikir rasional.
f.
Tidak mampu
mengurus diri dan keluarga.
g.
Membutuhkan
orang yang dipercaya.
Klien krisis ini sangat membutuhkan penanganan yang cepat. Brammer
(dikutip dari Willis, 2009) mengatakan bahwa ada tiga langkah penting untuk
membantu klien krisis, yaitu:
a.
Menentukan
sejauh mana kondisi krisis klien.
b.
Menentukan
sumber-sumber yang dapat membantu klien, misalnya: orangtua, saudara, dan
teman.
c.
Bantuan dalam
bentuk pertolongan langsung. Misalnya, memberikan klien peluang untuk
menyalurkan perasaannya kemudian memberi bantuan psikologis.
Tujuan utama membantu klien yang mengalami kesedihan yang mendalam
(Grief) di antaranya[7]:
a.
Agar klien
dapat dapat menerima kesedihannya secara wajar.
b.
Agar klien
dapat mengekspresikan segala rasa kesedihannya.
c.
Membentuk lagi
lingkungan yang baru yang dapat melupakan semua kesedihannya.
d.
Membentuk
relasi (kawan atau sahabat) yang baru.
e.
Menghilangkan
ingatan terhadap kesedihan.
Semua individu yang diberi bantuan professional oleh seorang
konselor atas permintaan dia sendiri atau atas permintaan orang lain, dinamakan
klien. Ada klien yang datang atas kemauan sendiri, karena dia membutuhkan
bantuan. Dia sadar bahwa dalam dirinya ada suatu kekurangan atau masalah yang
memerlukan bantuan seorang ahli. Akan tetapi ada pula individu yang tidak sadar
akan masalah yang dialaminya, karena kurangnya kesadaran diri. Dia mungkin
dikirim kepada konselor oleh orang tua atau gurunya. Namun secara umum kalau
klien sudah sadar akan diri dan masalahnya maka dia mempunyai harapan terhadap
konselor dan proses konseling yaitu supaya dia tumbuh, berkembang, produktif, kreatif,
dan mandiri. Harapan, kebutuhan, dan latar belakang klien akan menentukan
terhadap keberhasilan proses konseling.[8]
Erhamwilda (2009) menyebutkan beberapa karakteristik klien Islami,
yaitu[9]:
1.
Klien yang
dibantu melalui konseling Islami adalah klien yang beragama Islam atau
non-muslim yang bersedia diberi bantuan melalui pendekatan yang menggunakan
nilai-nilai Islam.
2.
Klien adalah
individu yang sedang mengalami hambatan/masalah untuk mendapatkan kebahagiaan
hidup (ketentraman).
3.
Klien secara sukarela/didorong
untuk mengikuti proses konseling.
4.
Klien adalah
seorang yang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, dan akan
bertanggungjawab atas dirinya setelah baligh/dewasa untuk kehidupan dunia
maupun akhiratnya.
5.
Pada dasarnya
setiap klien adalah baik, karena Allah SWT telah membekali setiap individu
dengan potensi berupa fitrah yang suci untuk tunduk pada aturan dan petunjuk
Allah Yang Maha Esa.
6.
Ketidaktentraman/ketidakbahagiaan
klien dalam hidupnya umumnya bersumber dari belum dijalankannya ajaran agama
sesuai tuntunan al-Qur’an dan Hadits, sehingga perlu didiagnosis secara
mendalam bersama klien.
7.
Klien yang
bermasalah pada hakekatnya orang yang membutuhkan bantuan untuk memfungsikan
jasmani, qolb, a’qal, dan basyirohnya dalam mengendalikan dorongan hawa
nafsunya.
Lesmana (2005) membandingkan karakteristik klien dalam dua sisi,
yaitu karakteristik klien sukses dan karakteristik klien kurang sukses. Yang
termasuk dalam karakteristik klien sukses ini adalah klien yang memiliki
ciri-ciri YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent, Successful). Adapun
yang termasuk dalam karakteristik klien kurang sukses adalah yang memiliki
ciri-ciri HOUND (Homely, Old, Unintelligent, Non-verbal, Disadvantaged) atau
DUD (Dumb, Unintelligent, Disadvantaged).[10]
Konseling diselenggarakan dengan maksud untuk melakukan perubahan
pada diri klien. Aspek apakah pada diri klien yang dapat berubah karena
intervensi konseling dan kapan perubahan tersebut dapat diperoleh? Untuk
menjawab permasalahan ini akan diuraikan secara singkat kedua hal tersebut pada
bagian berikut ini.[11]
Perubahan sebagai akibat hubungan konseling tidak hanya sekedar
perubahan, tetapi adanya peningkatan secara positif atau peningkatan pada
fungsi klien (Todd dan Bohart, 1992; Kazdin, 1988). Jika klien adalah orang
yang mengalami ketergantungan obat, maka perubahan itu berupa pengurangan
gejala-gejala yang berhubungan dengan ketergantungan obat. Jika klien
menunjukkan mengalami gangguan kecemasan, maka dianggap terjadi perubahan jika
ada pengurangan tingkat kecemasanny
Penentuan bentuk perubahan itu terkait dengan latar belakang
falsafah konselor atau penelitinya. Konselor atau peneliti penganut behavioral
mengakui bahwa perubahan itu harus terjadi secara nyata pada perilaku yang
tampak, spesifik dan terukur. Konselor atau peneliti penganut humanistik
menekankan perubahan pada sikap-sikapnya yang deitunjukkan dengan adanya
peningkatan penerimaan diri, tanggung jawab, dan pengalaman emosional. Penganut
Freudian tentunya menekankan perubahan-perubahan pada peningkatan fungsi ego
klien. Sedangkan penganut konseling rasional emotif behavior menekankan
perubahan-perubahan pada cara berfikir klien (Todd dan Bohar, 1992; Ellis, 1994;
Bodley, 1987).
Dalam melakukan risetnya, selain menggunakan pengertian konseptual
sebagaimana falsafah yang dianutnya, peneliti juga membuat pengertian
operasional tentang “perubahan” yang
dimaksud. Secara sederhana batasan operasional perubahan itu dihubungkan dengan
aspek perubahan yang menjadi target
suatu terapi , apakah perubahan dalam bentuk tindakan (action) yang
dapat diamati, perasaan, atau pikiran klien, atau perubahan dalam ketiganya. Perubahan-perubahan
tersebut terkait dengan dua hal; yaitu alat ukur yang digunakan dan pihak yang
dilibatkan dalam pengukuran.
Peneliti konseling tentunya menyadari bahwa “waktu” perubahan ini
mengandung dua aspek, yaitu waktu mulai terjadinya perubahan dan selang waktu
perubahan yang ditargetkan itu dapat dipertahankan oleh klien.
Berhubungan dengan waktu mulai terjadi perubahan pada klien ini,
konselor atau peneliti dapat menetapkan kapan perubahan itu diharapkan terjadi.
Apakah sesaat, seminggu, sebulan, setahun seteah konseling berakhir, atau pad
akurun waktu yang lebih lama lagi? Jadi tidak selalu perubahan itu terjadi pada
saat beberapa waktu setelah proses konseling berlangsung. Misalnya, suatu
konseling diharapkan dapat meningkatkan prestasi akademik klien. Terhadap
target perubahan ini, tidak mungkin prestasi akademik klien dapat meningkat
sesaat setelah proses konseling terjadi, tetapi hanya diketahui setelah
kliennya mengikuti ujian yang diselenggarakan gurunya. Untuk permasalahan yang
lain, tentunya waktu terjadi perubahan itu dapat berbeda sesuai dengan sifat
atau aspek yang akan diubah atau dibentuknya.
Selain menyangkut waktu terjadinya perubahan, juga perlu
mempelajari selang waktu (interval) perubahan itu dipertahankan oleh klien.
Sebagaimana halnya dengan kondisi kesehatan fisik, pemberian obat dengan dosis
tertentu dapat mengendalikan kesehatan dan perilaku seseorang dalam kurun waktu
tertentu. Atas dasar analogi di bidang farmakologi ini, diasumsikan bahwa
perubahan pada klien dan perubahan itu berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Sama halnya dengan teori behavioral tentang resistence to extinction
bahwa perilaku yang terbentuk tetap dipertahankan dalam waktu tertentu
sekalipun tidak memperoleh penguatan.
Jika selang waktu perubahan ini menjadi perhatian dalam penelitian,
maka peneliti dapat menetapkan berapa lama kemungkinan klien dapat
mempertahankan perubahan-perubahan perilakunya. Untuk mengetahui interval
perubahan ini, peneliti dapat mengukur perkembangan perubahan itu setelah
konseling diberikan. Dengan demikian kita mengetahui kecenderungan
perubahannya, apakah terus terjadi peningkatan, berlangsung tetap, atau
menurun.
Secara umum tujuan konseling adalah terjadinya perubahan perilaku.
Sedangkan yang dimaksud manusia ideal ialah mereka yang mampu menciptakan
kesenangan atau memperoleh kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi
lingkungannya berkat pengembangan optimal segenap potensi yang ada pada dirinya
seiring dengan pengembangan suasana kebersamaan dengan lingkungan sosialnya,
sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, dan segala sesuatunya itu
dikaitkan dengan pertanggungjawaban atas segenap aspek kehidupannya di dunia
terhadap kehidupan di akhirat kelak.
Dengan demikian, diharapkan proses konseling ini dapat menimbulkan
perubahan perilaku pada klien sehingga
dirinya dapat mencapai kriteria manusia ideal diantaranya, manusia yang
memiliki pendirian yang matang, tangguh, dinamis, kemampuan sosialnya luas,
bersemangat, nilai kesusilaannya tinggi, serta keimanan dan ketakwaannya kepada
Tuhan Yang Maha Esa.[12]
1.
Klien adalah
seorang yang datang kepada seorang ahli(konselor) dengan tujuan tertentu. Ada
kalanya klien datang atas kemauannya sendri maupun dorongan dari orang lain.
2.
Klien ada
bermacam-macam diantaranya adalah klien suka rela,klien terpaksa, klien eggan,
klien bertentangan danklien krisis.
3.
Karakteristik
klien ada dua macam, yaitu klien sukses dan klien kurang sukses. Adapun lkien
sukses memiliki ciri-ciri YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent,
Successful) dan klien kurang sukses memiliki ciri-ciri HOUND (Homely, Old,
Unintelligent, Non-verbal, Disadvantaged) atau DUD (Dumb, Unintelligent,
Disadvantaged).
4.
Perubahan
sebagai akibat hubungan konseling tidak hanya sekedar perubahan, tetapi adanya
peningkatan secara positif atau peningkatan pada fungsi klien. Adapun waktu
perubahan klien ini dapat diketahui melalui 2 aspek, yaitu waktu mulai
terjadinya perubahan dan selang waktu perubahan yang ditargetkan itu dapat
dipertahankan oleh klien.
5.
Diharapkan
proses konseling ini dapat menimbulkan perubahan perilaku pada klien sehingga dirinya dapat mencapai
kriteria manusia ideal diantaranya, manusia yang memiliki pendirian yang
matang, tangguh, dinamis, kemampuan sosialnya luas, bersemangat, nilai
kesusilaannya tinggi, serta keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Seorang yang mengalami depresi atau kesulitan dalam menyelesaikan
dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang sedang dia hadapi hendaklah
datang dan minta bantuan kepada sorang yang ahli untuk membantu menyelesaikan
masalahnya, dan percayalah bahwa seorang konselor akan bisa menjaga rahasia
bahkan menganggap bahwa anda tidak pernah mengatakan apapun kepada seopang
konselor setelah proses konseling berakhir.
Erhamwilda.
2009. Konseling Islami. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hikmawati,
Fenti. 2012. Bimbingan Konseling. Jakarta: Rajawali Press.
Latipun.
2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lubis, Namora Lumongga. 2013. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam
Teori dan Praktik. Jakarta:KENCANA Prenada Media Group
Lubis,
Saiful Akhyar. 2007. Konseling Islami Kyai dan Pesantren. Yogyakarta:
eLSAQ Press.
Prayitno dan
Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Rofiq, Arif
Ainur. 2012. Ketrampilan Komunikasi Konseling. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel.
Salahudin,
Anas. 2012. Bimbingan dan Konseling. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Walgito, Bimo.
2010. Bimbingan dan Konseling Studi dan Karier. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Willis, Sofyan
S. 2009. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
[1] Saiful Akhyar
Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2007), cet. 1, hlm. 11.
[2]Bimo Walgito, Bimbingan
dan Konseling Studi dan Karier (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010) cet. 3,
hlm. 10.
[3] Anas Salahudin,
Bimbingan dan Konseling (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), cet. 3, hlm.
63.
[4] Arif Ainur
Rofiq, Ketrampilan Komunikasi Konseling (Surabaya: IAIN Sunan Ampel,
2012), cet. 1, hlm. 1.
[5]Fenti Hikmawati,
Bimbingan Konseling (Jakarta: Rajawali Press, 2012), cet. 3, hlm. 39.
[6] Namora
Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik
(Jakarta: KENCANA Prenada Media Group, 2013), cet. 2, hlm. 48.
[7] Anas
Salahudin, Bimbingan dan Konseling, hlm. 43.
[8] Sofyan S.
Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek (Bandung: Penerbit Alfabeta,
2009), cet. 4, hlm. 111.
[9] Erhamwilda, Konseling
Islami (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), cet. 1, hlm. 116.
[10] Namora
Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik,
hlm. 51.
[11] Latipun, Psikologi
Konseling (Malang: UMM Press, 2008), cet. 7, hlm. 260.
[12]Prayitno dan
Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling (Jakarta: PT RINEKA
CIPTA, 2004), cet. 4, hlm. 20
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home