Sunday 1 May 2016

Makalah Karakteristik Klien



KARAKTERISTIK KLIEN
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Pengantar BK”

Dosen Pemandu:
Dra. Ragwan Albar, M. Fil. I

Oleh:
Iva Umi Agustina       (B53214018)
Nadia Nafisah F                      (B53214027)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS  ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014



Seluruh problem kehidupan manusia menuntut adanya penyelesaian. Akan tetapi, tidak setiap problem dapat diselesaikan sendiri oleh individu, sehingga ia kadangkala membutuhkan seorang ahli sesuai dengan jenis problemnya. Pendekatan-pendekatan psikologis berupa bimbingan dan konseling merupakan pendekatan alternatif dan menjadi perhatian para ahli pada umumnya.[1]
Manusia perlu mengenal dirinya sendiri dengan sebaik-baiknya. Dengan mengenal dirinya sendiri, mereka dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Walaupun demikian, tidak semua manusia mampu mengenal dirinya. Mereka memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuanyang dimilikinya dan bantuan tersebut dapat diberikan oleh bimbingan dan konseling.[2]
Adapun konseling merupakan proses yang meliputi segala kegiatan tatap muka antara konselor dan klien dalam rangka mengatasi masalah klien melalui hubungan yang mendalam dan berorientasi pada pemecahan masalah klien.[3]
Proses konseling yang melibatkan konselor dan klien secara tatap muka di dalamnya terdapat komunikasi antara dua pihak yaitu konselor dan klien selama proses konseling itu berlangsung. Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh keefektifan komunikasi diantara konselor dan klien. Dalam hal ini, konselor dituntut untuk mampu berkomunikasi secara efektif untuk menunjang pelaksanaan proses konseling.[4]
1.      Apa pengertian dari klien?
2.      Apa saja macam-macam klien?
3.      Apa saja karakteristik klien?
4.      Bagaimana proses perubahan klien?
5.      Apa saja kriteria manusia ideal yang harus dicapai oleh klien?
1.      Mendeskripsikan pengertian klien.
2.      Menyebutkan macam-macam klien.
3.      Mengetahui karakteristik klien.
4.      Mengetahui proses perubahan klien.
5.      Menyebutkan kriteria manusia ideal yang harus dicapai klien.









Klien adalah individu yang diberi bantuan professional oleh seorang konselor atas permintaan dia sendiri atau orang lain. Klien yang datang atas kemauannya sendiri karena dia membutuhkan bantuan, dia sadar bahwa dalam dirinya ada masalah yang memerlukan bantuan seorang ahli. Klien yang datang atas permintaan orang lain seperti orang tua dan guru, berarti dia tidak sadar akan masalah yang dialami dirinya sendiri karena kurangnya kesadaran diri. Apabila klien sudah sadar akan diri dan masalahnya, maka dia mempunyai harapan terhadap konselor dan proses konseling, yaitu supaya dia tumbuh, berkembang, produktif, kreatif, dan mandiri, sehingga dapat menentukan keberhasilan proses konseling.[5]
Berikut ini akan diuraikan berbagai macam klien yang diungkapkan oleh Willis (2009).[6]
Klien sukarela adalah klien yang datang pada konselor atas kesadaran sendiri karena memiliki maksud dan tujuan tertentu. Hal ini dapat berupa keinginan memperoleh informasi, mencari penjelasan tentang masalahny, tentang karier dan lanjutan studi dan sebagainya.
Adapun ciri-ciri klien sukarela adalah:
a.      Datang atas kemauan sendiri.
b.      Dapat beradaptasi dengan konselor.
c.       Mudah terbuka, seperti dalam membicarakan persoalannya.
d.      Bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling.
e.      Berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas.
f.        Sikap bersahabat, mengharapkan bantuan.
g.      Bersedia mengungkapkan rahasia walaupun menyakitkan.
Meskipun klien sukarela datang atas kesadarannya sendiri, tetapi konselor juga harus tetap mempelajari sikap, emosi, dan harapannya terhadap proses konseling. Hal ini sangat berpengaruh pada diri klien yang mengharapkan bahwa konseling dapat memenuhi harapan dan kebutuhannya.
Apabila klien sukarela datang pada konselor atas kemauannya sendiri, maka klien terpaksa adalah klien yang datang pada konselor atas dorongan teman atau keluarga.
Adapun ciri-ciri klien terpaksa adalah:
a.       Klien bersifat tertutup.
b.      Enggan berbicara.
c.       Curiga terhadap konselor.
d.      Kurang bersahabat.
e.       Menolak secara halus bantuan konselor.
Dalam menghadapi klien seperti ini, konselor harus dapat meyakinkan klien bahwa konseling bukanlah wadah yang diperuntukkan untuk orang-orang yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya semata. Hal ini akan menciptakan perasaan aman pada diri klien sehingga dengan sendirinya klien akan membuka dirinya pada konselor.
Berbeda lagi dengan klien enggan. Klien enggan adalah klien yang datang pada konselor bukan untuk dibantu menyelesaikan masalahnya, melainkan karena senang berbincang-bincang dengan konselor. Ada juga beberapa klien enggan yang hanya diam karena tidak suka dibantu masalahnya.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi klien enggan adalah:
a.       Menyadarkan kekeliruannya.
b.      Memberi kesempatan agar klien dibimbing oleh konselor atau lawan bicara yang lain.
Klien bermusuhan/menentang merupakan kelanjutan dari klien terpaksa yang bermasalah dengan cukup serius. Ciri-ciri dari klien bermusuhan/menentang adalah: tertutup, menentang, bermusuhan, dan menolak secara terbuka.
Cara-cara efektif menghadapi klien ini adalah:
a.       Ramah, bersahabat, dan empati.
b.      Toleransi terhadap perilaku klien yang tampak.
c.       Meningkatkan kesabaran, menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuai bahasa tubuh klien.
d.      Memahami keinginan klien yang tidak mau dibimbing.
e.       Mengajak negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan tentang konseling.
Klien krisis merupakan klien yang mendapat musibah seperti kematian orang-orang terdekat, kebakaran rumah, dan pemerkosaan. Tugas konselor disini adalah memberikan bantuan yang dapat membuat klien menjadi stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang baru.
Ciri-ciri dari klien krisis adalah:
a.       Tertutup atau menutup diri dari dunia luar.
b.      Sangat emosional.
c.       Tidak berdaya.
d.      Ada yang mengalami histeria.
e.       Kurang mampu berpikir rasional.
f.       Tidak mampu mengurus diri dan keluarga.
g.      Membutuhkan orang yang dipercaya.
Klien krisis ini sangat membutuhkan penanganan yang cepat. Brammer (dikutip dari Willis, 2009) mengatakan bahwa ada tiga langkah penting untuk membantu klien krisis, yaitu:
a.       Menentukan sejauh mana kondisi krisis klien.
b.      Menentukan sumber-sumber yang dapat membantu klien, misalnya: orangtua, saudara, dan teman.
c.       Bantuan dalam bentuk pertolongan langsung. Misalnya, memberikan klien peluang untuk menyalurkan perasaannya kemudian memberi bantuan psikologis.
Tujuan utama membantu klien yang mengalami kesedihan yang mendalam (Grief) di antaranya[7]:
a.       Agar klien dapat dapat menerima kesedihannya secara wajar.
b.      Agar klien dapat mengekspresikan segala rasa kesedihannya.
c.       Membentuk lagi lingkungan yang baru yang dapat melupakan semua kesedihannya.
d.      Membentuk relasi (kawan atau sahabat) yang baru.
e.       Menghilangkan ingatan terhadap kesedihan.
Semua individu yang diberi bantuan professional oleh seorang konselor atas permintaan dia sendiri atau atas permintaan orang lain, dinamakan klien. Ada klien yang datang atas kemauan sendiri, karena dia membutuhkan bantuan. Dia sadar bahwa dalam dirinya ada suatu kekurangan atau masalah yang memerlukan bantuan seorang ahli. Akan tetapi ada pula individu yang tidak sadar akan masalah yang dialaminya, karena kurangnya kesadaran diri. Dia mungkin dikirim kepada konselor oleh orang tua atau gurunya. Namun secara umum kalau klien sudah sadar akan diri dan masalahnya maka dia mempunyai harapan terhadap konselor dan proses konseling yaitu supaya dia tumbuh, berkembang, produktif, kreatif, dan mandiri. Harapan, kebutuhan, dan latar belakang klien akan menentukan terhadap keberhasilan proses konseling.[8]
Erhamwilda (2009) menyebutkan beberapa karakteristik klien Islami, yaitu[9]:
1.      Klien yang dibantu melalui konseling Islami adalah klien yang beragama Islam atau non-muslim yang bersedia diberi bantuan melalui pendekatan yang menggunakan nilai-nilai Islam.
2.      Klien adalah individu yang sedang mengalami hambatan/masalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup (ketentraman).
3.      Klien secara sukarela/didorong untuk mengikuti proses konseling.
4.      Klien adalah seorang yang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, dan akan bertanggungjawab atas dirinya setelah baligh/dewasa untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya.
5.      Pada dasarnya setiap klien adalah baik, karena Allah SWT telah membekali setiap individu dengan potensi berupa fitrah yang suci untuk tunduk pada aturan dan petunjuk Allah Yang Maha Esa.
6.      Ketidaktentraman/ketidakbahagiaan klien dalam hidupnya umumnya bersumber dari belum dijalankannya ajaran agama sesuai tuntunan al-Qur’an dan Hadits, sehingga perlu didiagnosis secara mendalam bersama klien.
7.      Klien yang bermasalah pada hakekatnya orang yang membutuhkan bantuan untuk memfungsikan jasmani, qolb, a’qal, dan basyirohnya dalam mengendalikan dorongan hawa nafsunya.
Lesmana (2005) membandingkan karakteristik klien dalam dua sisi, yaitu karakteristik klien sukses dan karakteristik klien kurang sukses. Yang termasuk dalam karakteristik klien sukses ini adalah klien yang memiliki ciri-ciri YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent, Successful). Adapun yang termasuk dalam karakteristik klien kurang sukses adalah yang memiliki ciri-ciri HOUND (Homely, Old, Unintelligent, Non-verbal, Disadvantaged) atau DUD (Dumb, Unintelligent, Disadvantaged).[10]
Konseling diselenggarakan dengan maksud untuk melakukan perubahan pada diri klien. Aspek apakah pada diri klien yang dapat berubah karena intervensi konseling dan kapan perubahan tersebut dapat diperoleh? Untuk menjawab permasalahan ini akan diuraikan secara singkat kedua hal tersebut pada bagian berikut ini.[11]
Perubahan sebagai akibat hubungan konseling tidak hanya sekedar perubahan, tetapi adanya peningkatan secara positif atau peningkatan pada fungsi klien (Todd dan Bohart, 1992; Kazdin, 1988). Jika klien adalah orang yang mengalami ketergantungan obat, maka perubahan itu berupa pengurangan gejala-gejala yang berhubungan dengan ketergantungan obat. Jika klien menunjukkan mengalami gangguan kecemasan, maka dianggap terjadi perubahan jika ada pengurangan tingkat kecemasanny
Penentuan bentuk perubahan itu terkait dengan latar belakang falsafah konselor atau penelitinya. Konselor atau peneliti penganut behavioral mengakui bahwa perubahan itu harus terjadi secara nyata pada perilaku yang tampak, spesifik dan terukur. Konselor atau peneliti penganut humanistik menekankan perubahan pada sikap-sikapnya yang deitunjukkan dengan adanya peningkatan penerimaan diri, tanggung jawab, dan pengalaman emosional. Penganut Freudian tentunya menekankan perubahan-perubahan pada peningkatan fungsi ego klien. Sedangkan penganut konseling rasional emotif behavior menekankan perubahan-perubahan pada cara berfikir klien (Todd dan Bohar, 1992; Ellis, 1994; Bodley, 1987).
Dalam melakukan risetnya, selain menggunakan pengertian konseptual sebagaimana falsafah yang dianutnya, peneliti juga membuat pengertian operasional tentang  “perubahan” yang dimaksud. Secara sederhana batasan operasional perubahan itu dihubungkan dengan aspek perubahan yang menjadi target  suatu terapi , apakah perubahan dalam bentuk tindakan (action) yang dapat diamati, perasaan, atau pikiran klien, atau perubahan dalam ketiganya. Perubahan-perubahan tersebut terkait dengan dua hal; yaitu alat ukur yang digunakan dan pihak yang dilibatkan dalam pengukuran.
Peneliti konseling tentunya menyadari bahwa “waktu” perubahan ini mengandung dua aspek, yaitu waktu mulai terjadinya perubahan dan selang waktu perubahan yang ditargetkan itu dapat dipertahankan oleh klien.
Berhubungan dengan waktu mulai terjadi perubahan pada klien ini, konselor atau peneliti dapat menetapkan kapan perubahan itu diharapkan terjadi. Apakah sesaat, seminggu, sebulan, setahun seteah konseling berakhir, atau pad akurun waktu yang lebih lama lagi? Jadi tidak selalu perubahan itu terjadi pada saat beberapa waktu setelah proses konseling berlangsung. Misalnya, suatu konseling diharapkan dapat meningkatkan prestasi akademik klien. Terhadap target perubahan ini, tidak mungkin prestasi akademik klien dapat meningkat sesaat setelah proses konseling terjadi, tetapi hanya diketahui setelah kliennya mengikuti ujian yang diselenggarakan gurunya. Untuk permasalahan yang lain, tentunya waktu terjadi perubahan itu dapat berbeda sesuai dengan sifat atau aspek yang akan diubah atau dibentuknya.
Selain menyangkut waktu terjadinya perubahan, juga perlu mempelajari selang waktu (interval) perubahan itu dipertahankan oleh klien. Sebagaimana halnya dengan kondisi kesehatan fisik, pemberian obat dengan dosis tertentu dapat mengendalikan kesehatan dan perilaku seseorang dalam kurun waktu tertentu. Atas dasar analogi di bidang farmakologi ini, diasumsikan bahwa perubahan pada klien dan perubahan itu berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Sama halnya dengan teori behavioral tentang resistence to extinction bahwa perilaku yang terbentuk tetap dipertahankan dalam waktu tertentu sekalipun tidak memperoleh penguatan.
Jika selang waktu perubahan ini menjadi perhatian dalam penelitian, maka peneliti dapat menetapkan berapa lama kemungkinan klien dapat mempertahankan perubahan-perubahan perilakunya. Untuk mengetahui interval perubahan ini, peneliti dapat mengukur perkembangan perubahan itu setelah konseling diberikan. Dengan demikian kita mengetahui kecenderungan perubahannya, apakah terus terjadi peningkatan, berlangsung tetap, atau menurun.


Secara umum tujuan konseling adalah terjadinya perubahan perilaku. Sedangkan yang dimaksud manusia ideal ialah mereka yang mampu menciptakan kesenangan atau memperoleh kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya berkat pengembangan optimal segenap potensi yang ada pada dirinya seiring dengan pengembangan suasana kebersamaan dengan lingkungan sosialnya, sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, dan segala sesuatunya itu dikaitkan dengan pertanggungjawaban atas segenap aspek kehidupannya di dunia terhadap kehidupan di akhirat kelak.
Dengan demikian, diharapkan proses konseling ini dapat menimbulkan perubahan perilaku pada  klien sehingga dirinya dapat mencapai kriteria manusia ideal diantaranya, manusia yang memiliki pendirian yang matang, tangguh, dinamis, kemampuan sosialnya luas, bersemangat, nilai kesusilaannya tinggi, serta keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.[12]


1.      Klien adalah seorang yang datang kepada seorang ahli(konselor) dengan tujuan tertentu. Ada kalanya klien datang atas kemauannya sendri maupun dorongan dari orang lain.
2.      Klien ada bermacam-macam diantaranya adalah klien suka rela,klien terpaksa, klien eggan, klien bertentangan danklien krisis.
3.      Karakteristik klien ada dua macam, yaitu klien sukses dan klien kurang sukses. Adapun lkien sukses memiliki ciri-ciri YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent, Successful) dan klien kurang sukses memiliki ciri-ciri HOUND (Homely, Old, Unintelligent, Non-verbal, Disadvantaged) atau DUD (Dumb, Unintelligent, Disadvantaged).
4.      Perubahan sebagai akibat hubungan konseling tidak hanya sekedar perubahan, tetapi adanya peningkatan secara positif atau peningkatan pada fungsi klien. Adapun waktu perubahan klien ini dapat diketahui melalui 2 aspek, yaitu waktu mulai terjadinya perubahan dan selang waktu perubahan yang ditargetkan itu dapat dipertahankan oleh klien.
5.      Diharapkan proses konseling ini dapat menimbulkan perubahan perilaku pada  klien sehingga dirinya dapat mencapai kriteria manusia ideal diantaranya, manusia yang memiliki pendirian yang matang, tangguh, dinamis, kemampuan sosialnya luas, bersemangat, nilai kesusilaannya tinggi, serta keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seorang yang mengalami depresi atau kesulitan dalam menyelesaikan dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang sedang dia hadapi hendaklah datang dan minta bantuan kepada sorang yang ahli untuk membantu menyelesaikan masalahnya, dan percayalah bahwa seorang konselor akan bisa menjaga rahasia bahkan menganggap bahwa anda tidak pernah mengatakan apapun kepada seopang konselor setelah proses konseling berakhir.

Erhamwilda. 2009. Konseling Islami. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hikmawati, Fenti. 2012. Bimbingan Konseling. Jakarta: Rajawali Press.
Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lubis, Namora Lumongga. 2013. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta:KENCANA Prenada Media Group
Lubis, Saiful Akhyar. 2007. Konseling Islami Kyai dan Pesantren. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Rofiq, Arif Ainur. 2012. Ketrampilan Komunikasi Konseling. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Salahudin, Anas. 2012. Bimbingan dan Konseling. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling Studi dan Karier. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Willis, Sofyan S. 2009. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Alfabeta.




[1] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), cet. 1, hlm. 11.
[2]Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Studi dan Karier (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010) cet. 3, hlm. 10.
[3] Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), cet. 3, hlm. 63.
[4] Arif Ainur Rofiq, Ketrampilan Komunikasi Konseling (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2012), cet. 1, hlm. 1.
[5]Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling (Jakarta: Rajawali Press, 2012), cet. 3, hlm. 39.
[6] Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik (Jakarta: KENCANA Prenada Media Group, 2013), cet. 2, hlm. 48.
[7] Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling, hlm. 43.
[8] Sofyan S. Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2009), cet. 4, hlm. 111.
[9] Erhamwilda, Konseling Islami (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), cet. 1, hlm. 116.
[10] Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik, hlm. 51.
[11] Latipun, Psikologi Konseling (Malang: UMM Press, 2008), cet. 7, hlm. 260.
[12]Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004), cet. 4, hlm. 20

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home